Apa Persiapanmu?
By. Angela Januarti
Rintik hujan jatuh perlahan, ia menemani perjalananku menuju biara
Menyurai. Hari ini aku merasa gembira bisa kembali melewati senja. Aku
tiba pukul 16.45 WIB dan mendapati seorang pastor tengah duduk santai
seraya membaca koran di ruang makan. Kami berbincang sejenak sebelum aku
pamit untuk pergi ke hutan belakang biara. Aku ingin berdoa pada Bunda
Maria. Meski cuaca mendung, senja yang terlewatkan di biara ini selalu
menyenangkan. Dan hal terpenting adalah aku selalu gembira setiap kali
datang berkunjung dan pulang dari biara.
Misa dalam senja ini terasa seperti misa hari minggu. Sangat ramai.
Ruang doa penuh. Banyak orang harus duduk di kursi bagian luar. Aku
sendiri cukup beruntung mendapatkan kursi pojok dekat pintu masuk ruang
doa.
Di awal misa, aku mendengar satu kalimat menarik yang pastor utarakan
dalam kata pengantarnya “Apa persiapan kita untuk kedatangan Allah?”
Hal ini berkaitan dengan bacaan Injil yang akan dibacakan “Dan
hendaklah kamu sama seperti orang-orang yang menanti-nantikan tuannya
yang pulang dari perkawinan, supaya jika ia datang dan mengetok pintu,
segera dibuka pintu baginya. Berbahagialah hamba-hamba yang didapati
tuannya berjaga-jaga ketika ia datang … (Luk 12:36-37)”
Usai misa – aku, pastor dan bruder melaksanakan ibadat sore. Meski
sudah beberapa kali ikut, aku belum bisa menghafal setiap halaman yang
digunakan. Beruntung bruder tidak bosan-bosannya membantu menunjukkan
nomor halaman buku.
Selanjutnya kami mengikuti Doa Rosario di rumah sebuah keluarga yang
berada di belakang biara. Mengikuti doa bersama pastor, bruder dan umat
kring seperti ini merupakan hal baru dalam kisah senjaku. Selain itu,
aku juga berkesempatan berkenalan dengan seorang pastor yang akan
bertugas di biara Menyurai. Dalam perbincangan kami, pastor memberitahu
sudah 15 tahun berlalu sejak ia berpindah tugas. Wow … itu waktu yang
cukup lama dan aku senang bisa bertemu beliau saat ini.
Ketika senja hari ini berakhir, aku kembali ke rumah dengan hati
gembira. Dalam hening, kalimat yang dilontarkan pastor kembali
terdengar. “Apa persiapan kita untuk kedatangan Allah?”
Seketika otakku memutar kembali semua kisah senja yang sudah
berlangsung dua tahun ini. Dalam tiap kisahnya, aku mendapatkan
pengalaman iman yang berharga. Mulai dari berkenalan dengan banyak
pribadi, mengenal ibadat sore dan ibadat penutup (completorium).
Mengetahui istilah-istilah dalam gereja yang belum kupahami, hingga
membentukku menjadi pribadi yang melihat hal-hal sederhana sebagai hal
yang indah.
Bila ditanya apa yang kupersiapkan untuk kedatangan Allah. Jawabannya
sangat sederhana, aku selalu berusaha menjadi orang yang baik dan
menuruti semua perintah-Nya. Aku merasa Tuhan sendiri membantuku
mempersiapkan semua itu. Dua tahun melewati senja, aku telah belajar
banyak hal yang menuntunku menjadi lebih baik lagi.
*AJ.020187*
Setiap kepingan kehidupan memiliki keajaibannya sendiri. Keajaiban itulah yang ingin kubagikan dengan menulis.
8 November 2013
Senja di Biara Menyurai
Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai.
-AJ.020187-
Surat Kedelapan dari Desa
By. Angela Januarti
Dear David…
Como vai, David? Aku sedang belajar bahasa portugues dari seorang kakak. Aku gembira bisa membagikan beberapa kalimat yang sudah kupelajari dalam surat ini. Seperti biasa, aku ingin bercerita tentang pengalamanku mengunjungi sebuah kampung.
Aku dan seorang teman berangkat pukul satu siang menggunakan motor. Ia membawaku melewati jalur yang belum pernah kulalui. Medannya cukup ekstrem, mengingat jalanan baru mulai kering setelah diguyur hujan kemarin. Ada banyak tanjakan dan turunan. Rasanya seperti lirik lagu film kartun Ninja Hatori saja – ‘mendaki gunung, lewati lembah.’ Kami juga harus menyeberangi sungai menggunakan perahu. Saat-saat seperti ini terasa menyenangkan. Panas dan lelah menghilang seketika.
Perjalanan ditempuh selama satu jam. Aku salut melihat teman yang memboncengku. Benar-benar wonder women. Sekali pun aku tahu dia kelelahan, namun semangatnya tetap menggebu-gebu.
Sebelum sampai di kampung, kami disuguhkan permandangan ladang-ladang yang sudah dibakar dan siap ditanami padi. Bulan September – Oktober ini masyarakat memang disibukkan dengan menugal. Hal ini juga menjadi kendala untuk bertemu mereka pada siang hari. Maka, sebelum berangkat kami mengirimkan pesan akan kedatangan kami.
Aku dan temanku sempat beristirahat sebentar, memandangi ladang dan beberapa pondok sederhana yang dibuat untuk beristirahat melepas lelah bagi para warga. Kamu tentu tahu aku pasti mendokumentasikan semua itu.
Sudah setahun aku tidak berkunjung ke kampung ini. Saat kami tiba, masyarakat yang kebetulan berada di rumah menyambut dengan sangat ramah. Mereka tetap mengingatku. Kami bersantai di beranda rumah, menikmati secangkir teh hangat, sirih dan buah pisang pemberian seorang warga. Sambutan seperti ini benar-benar membuatku serasa pulang ke kampung halaman. Terlebih sukacita yang mereka hadirkan saat berbincang dan menceritakan pengalaman lucu.
“Berambih bon?” beberapa warga menanyakan apakah kami akan menginap.
Biasanya, kalau teman-teman tiba di kampung sore hari mereka memilih menginap. Tahun lalu pun aku pernah menginap di tempat ini. Sayangnya, kali ini kami tidak ada rencana menginap. Cuaca sangat bagus untuk pulang pergi dalam sehari. Kulihat ada raut kekecewaan pada wajah mereka. Lantas, aku berinisiatif mengajak beberapa warga berfoto bersama. Anggaplah berfoto ini sebagai ganti kami tidak menginap. Seketika wajah-wajah mereka kembali tersenyum bahagia.
Saat hendak pulang, kami dihadiahi singkong mentah yang baru saja dipanen. Wah, betapa gembiranya hati kami berdua. Hari ini aku merasa sangat bahagia.
“Lain kali, kita harus membawa oleh-oleh juga untuk mereka. Paling tidak buah-buahan untuk kita makan bersama sambil bersantai di berada rumah,” tuturku dalam perjalanan pulang.
“Iya, itu ide yang bagus,” timpalnya.
Aku melampirkan beberapa foto untukmu, David. Semoga kamu menyukainya. Sudah pukul sebelas malam. Aku harus bergegas menyelesaikan surat ini. Boa noite, David.
Eu te amo!
Mawar
Dear David…
Como vai, David? Aku sedang belajar bahasa portugues dari seorang kakak. Aku gembira bisa membagikan beberapa kalimat yang sudah kupelajari dalam surat ini. Seperti biasa, aku ingin bercerita tentang pengalamanku mengunjungi sebuah kampung.
Aku dan seorang teman berangkat pukul satu siang menggunakan motor. Ia membawaku melewati jalur yang belum pernah kulalui. Medannya cukup ekstrem, mengingat jalanan baru mulai kering setelah diguyur hujan kemarin. Ada banyak tanjakan dan turunan. Rasanya seperti lirik lagu film kartun Ninja Hatori saja – ‘mendaki gunung, lewati lembah.’ Kami juga harus menyeberangi sungai menggunakan perahu. Saat-saat seperti ini terasa menyenangkan. Panas dan lelah menghilang seketika.
Perjalanan ditempuh selama satu jam. Aku salut melihat teman yang memboncengku. Benar-benar wonder women. Sekali pun aku tahu dia kelelahan, namun semangatnya tetap menggebu-gebu.
Sebelum sampai di kampung, kami disuguhkan permandangan ladang-ladang yang sudah dibakar dan siap ditanami padi. Bulan September – Oktober ini masyarakat memang disibukkan dengan menugal. Hal ini juga menjadi kendala untuk bertemu mereka pada siang hari. Maka, sebelum berangkat kami mengirimkan pesan akan kedatangan kami.
Aku dan temanku sempat beristirahat sebentar, memandangi ladang dan beberapa pondok sederhana yang dibuat untuk beristirahat melepas lelah bagi para warga. Kamu tentu tahu aku pasti mendokumentasikan semua itu.
Sudah setahun aku tidak berkunjung ke kampung ini. Saat kami tiba, masyarakat yang kebetulan berada di rumah menyambut dengan sangat ramah. Mereka tetap mengingatku. Kami bersantai di beranda rumah, menikmati secangkir teh hangat, sirih dan buah pisang pemberian seorang warga. Sambutan seperti ini benar-benar membuatku serasa pulang ke kampung halaman. Terlebih sukacita yang mereka hadirkan saat berbincang dan menceritakan pengalaman lucu.
“Berambih bon?” beberapa warga menanyakan apakah kami akan menginap.
Biasanya, kalau teman-teman tiba di kampung sore hari mereka memilih menginap. Tahun lalu pun aku pernah menginap di tempat ini. Sayangnya, kali ini kami tidak ada rencana menginap. Cuaca sangat bagus untuk pulang pergi dalam sehari. Kulihat ada raut kekecewaan pada wajah mereka. Lantas, aku berinisiatif mengajak beberapa warga berfoto bersama. Anggaplah berfoto ini sebagai ganti kami tidak menginap. Seketika wajah-wajah mereka kembali tersenyum bahagia.
Saat hendak pulang, kami dihadiahi singkong mentah yang baru saja dipanen. Wah, betapa gembiranya hati kami berdua. Hari ini aku merasa sangat bahagia.
“Lain kali, kita harus membawa oleh-oleh juga untuk mereka. Paling tidak buah-buahan untuk kita makan bersama sambil bersantai di berada rumah,” tuturku dalam perjalanan pulang.
“Iya, itu ide yang bagus,” timpalnya.
Aku melampirkan beberapa foto untukmu, David. Semoga kamu menyukainya. Sudah pukul sebelas malam. Aku harus bergegas menyelesaikan surat ini. Boa noite, David.
Eu te amo!
Mawar
Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai.
-AJ.020187-
Langganan:
Postingan (Atom)
- Angela Januarti
- Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai. -AJ.020187-