28 Mei 2013

Surat Kelima dari Desa

Oleh. Angela Januarti

Dear David,
Bagaimana kabarmu? Hal ini selalu menjadi pertanyaan utama yang ingin kutanyakan padamu. Kamu tahukan artinya? Aku sangat merindukanmu, David.
Aku baru saja pulang berpetualangan. Kali ini, petualangannya hanya satu hari saja. Aku pergi kedua kampung yang berbeda dalam sehari. Kami menggunakan mobil Strada untuk antisipasi kalau-kalau jalanan rusak terkena hujan.
Perjalanan menuju ke sana berjalan lancar, cuaca sangat cerah. Terik matahari menembus masuk ke mobil yang kutumpangi. Namun aku menikmatinya. Kami mengambil jalan pintas agar sampai tujuan lebih cepat. Kamu tahu David, aku melewati beberapa kampung yang pernah kamu ceritakan padaku. Sejenak aku memikirkanmu. Aku membayangkan kamu berada di tempat ini sekarang. Apa yang kamu pikirkan? Rindukah kamu padaku?
Jujur saja, sejak kamu bercerita, aku pun ingin segera berkunjung. Aku tidak menyangka Tuhan mewujudkannya begitu cepat. Meski tidak denganmu, semua yang kualami hari ini sangat menghiburku.
Kami tiba pukul 13.30 dan segera memulai kegiatan. Masyarakat yang hadir cukup banyak. Secara keseluruhan acaranya berjalan lancar, meski sempat terkendala karena satu alat elektronik milik kami hangus terkena arus listrik yang tinggi. Maklumlah, masyarakat di sini belum dapat pasokan listrik negara. Mereka masih menggunakan mesin genset atau dompeng/diesel.
Di kampung kedua, masyarakat yang hadir lebih banyak. Kalau malam hari, lebih mudah untuk mengumpulkan mereka. Sejak pagi hingga sore hari mereka bekerja – menoreh, berladang dan terkadang begaji/bekerja dengan orang.
Menjelang waktu pulang, hujan mengguyur sangat deras.  Untunglah kami menggunakan mobil, jadi tidak perlu menunda waktu pulang. Temanku bilang kira-kira pukul 11 malam kami baru bisa tiba tujuan. Aku mulai mengantuk. Badan terasa lelah seharian bekerja. Aku terlelap.
Saat terbangun, aku melirik jam untuk memastikan waktu. Ternyata sudah pukul 10 malam. Masih sekitar 30 menit perjalanan untuk sampai. Hujan tak kunjung berhenti, temanku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang.
Dari belakang, sebuah mobil melaju mendahului kami “Gila, mereka ngebut sekali!” tutur seorang teman.  Tahu apa yang terjadi selanjutnya, David? Kami melihat sebuah motor tergeletak di tengah jalan tempat kami akan melintas. Entah dimana pengemudinya. Mobil yang melaju tadi berhenti dan penumpangnya turun. Apa terjadi kecelakaan? Ini pun menjadi tanda tanya bagi kami. Rasanya tidak nyaman sekali melihat hal seperti ini di tengah malam. Semoga orangnya baik-baik saja.
Sekilas teringat perkataanmu, David. Kamu selalu mengingatkanku untuk memberi tanda kemenangan sebelum berkendaraan dan memulai aktivitas. Nah, kami ada berdoa sebelum perjalanan pulang. Hatiku lega karena kami sampai tujuan dengan selamat. Perkiraan waktu sampainya pun lebih cepat 30 menit.
David juga hati-hati ya kalau berkendaraan. Jangan terlalu mengebut.
Aku tahu kamu pribadi yang disiplin waktu. Jadi tak akan tergesa-gesa menuju satu tempat. Ini cukup membuatku lega. Aku hanya ingin mengingatkan saja. Okay?
Btw, Aku kirimkan satu foto untukmu. Foto ini kuambil agar selalu ingat pernah berkunjung ke tempat yang sudah kamu kunjungi. Semoga kamu menyukainya.
travel-mawar
Jaga kesehatanmu, David. Miss you!

Love,
Mawar

Surat Keempat dari Desa

Oleh. Angela Januarti

Dear. David,
Tiba-tiba aku sangat merindukanmu. Aku membaca ulang surat-surat yang pernah kamu kirimkan. Ceritamu tidak kalah serunya dengan kisahku. Aku merasa cukup terhibur. Aku tersenyum membayangkan ada di sampingmu saat itu, pasti akan sangat menyenangkan. Bulan ini aku kembali berpetualangan. Waktunya bukan lagi 3-4 hari, namun 8 hari berturut-turut. Namun aku tidak pernah lupa pesanmu “Jangan bekerja terlalu keras, tapi melupakan kesehatan.” Aku memilih libur di hari minggu. Aku perlu mengumpulkan banyak energi untuk petualangan ini.
Aku menuju satu tempat yang sudah pernah kukunjungi sebelumnya. Kali ini aku membawa motorku sendirian, begitu juga temanku. Ia menjadi pemanduku karena aku belum hapal jalan menuju ke tempat tugasnya. Sejak pagi hujan sangat deras, aku gelisah. Awalnya aku berencana berangkat pagi hari.
Kutunggu hujan reda, waktu seperti tak mau diajak kompromi. Pukul 11 siang, hujan mereda sebentar. Aku melaju. Selang beberapa menit hujan kembali turun dengan deras. Aku berhenti memasang mantel agar tidak basah kuyup. Sebenarnya aku sangat suka hujan, karena aku selalu berharap bisa melihat pelangi yang indah. Namun kali ini aku tidak mengharapkan hujan, aku membayangkan jalan licin yang akan kulewati setelah hujan.
Di tempat petualangan sebelumnya jalan tanah itu datar. Sekarang aku berada dijalur tanah berbukit. Untuk bisa menanjak dan menuruni jalan berbukit, perlu konsentrasi penuh. Hati dan pikiran harus berada di tempat, tidak boleh melayang sana-sini. Salah-salah motor bisa termundur dan tumbang. Lebih ekstrem lagi kalau tidak hati-hati diturunan, bisa saja cungkir balik dengan motor yang dikendarai. Namun kadang bayanganmu melintas di benakku, David. Mungkin karena aku sangat merindukanmu. Maaf ya, kali ini aku mengusir bayanganmu sebentar agar tidak menganggu konsentrasiku mengendarai motor.
Jaraknya jauh loh, David. Perlu waktu kurang lebih tiga jam untuk sampai ke tujuan. Berkali-kali aku menarik napas panjang, berteriak menghilangkan rasa takut. Temanku yang sudah terbiasa hanya tertawa melihat tingkahku. Seorang teman lain tidak menyangka mendengar aku membawa motor sendiri dalam kondisi jalanan licin. David … untuk kali ini panggilan wonder women-mu berlaku untukku. Hahahaha ….
Hari ini aku bekerja di malam hari. Aku dan dua orang temanku berkunjung ke sebuah rumah warga. Jalanan gelap gulita, kami hanya mengandalkan lampu sorot motor. Rumah warga tersebut agak di atas bukit dan tidak ada listrik, temanku berinisiatif menggunakan lampu pada kamera yang dibawanya.
Aku bertemu seorang ibu, ia tinggal di rumah sangat-sangat sederhana. Oh Tuhan, saat ia menyalakan pelita aku baru bisa melihat seisi rumahnya. Rumah itu lebih kecil dari kamar tidurku di kota. Tak ada sekat untuk sebuah kamar. Dindingnya terbuat dari susunan bambu berlapis terpal.
Meski keadaan ibu ini sangat memprihatinkan, tetap ada kisah menarik yang bisa kubagikan padamu, David. Ibu tersebut pendengarannya agak kurang dan tidak lancar berbahasa Indonesia. Aku perlu bantuan seorang teman untuk menterjemahkan perkataanku ke bahasa lokal. Dia juga harus sedikit berteriak. “Bisa habis suaraku teriak-teriak,” tutur temanku itu. Aku dan seorang teman lain tertawa melihat mereka berdua. Ibu tersebut ikutan tertawa. Meski terkadang dia terlihat bingung mau menjawab pertanyaanku, namun semuanya bisa berjalan lancar. Kami pulang dengan sukacita setelah melewati waktu sebentar bersama ibu tersebut.
David … aku tersadar akan sesuatu – teman-teman bilang aku sangat cocok mengurusi semua ini. Awalnya aku bingung, namun sekarang aku mulai mengerti. Bertemu mereka adalah rencana Tuhan untukku agar aku lebih bisa mensyukuri hidup dan membantu sesama. Sekali pun melewati medan yang ekstrem dan terkadang harus mengorbankan banyak tenaga dan waktu pribadiku, aku bahagia melakukannya. Aku pun terinspirasi pada perjuanganmu. Jadi, teruslah mendoakanku agar tetap tulus membantu sesama yang berkekurangan.
dear-david
Sumpah …! Menulis surat ini membuatku semakin rindu padamu. Sudah saatnya kita mengatur waktu untuk petualangan istimewa bersama-sama. Tempatnya masih sama, kamu pasti tahu tanpa aku harus menyebutnya. Kabari aku bila sudah menentukan waktumu.
Sampai di sini dulu ya kisah di hari pertama petualanganku. Aku mencuri waktu istirahatku. Hihihi jangan marah ya, David. Aku akan selalu jaga kesehatan. Don’t worry.
Jaga kesehatanmu juga. Doaku selalu untukmu, Cintaku.

Love,
Mawar

Surat Ketiga dari Desa

Oleh. Angela Januarti

Dear. David,
Hari ini aku kembali merindukanmu. Apa kamu sudah membaca suratku yang sebelumnya? Kamu sukakan?! Seorang kakak berkomentar ketika membaca suratku padamu. Katanya “Pasti David berbunga-bunga hatinya mendapatkan surat dari Mawar.” Kalimat itu membuatku penasaran dan ingin tahu jawabannya langsung dari mulutmu. Tapi … apapun itu, aku tetap ingin menulis surat untukmu.
Oh ya, seperti janjiku. Aku akan menceritakan petualanganku di hari ketiga dan keempat. Hari ketiga dalam petualangan, aku masih sangat bersemangat. Sebelum berangkat kami sarapan terlebih dahulu, mengingat tidak akan ada warung yang bisa kami jumpai untuk membeli makanan. Kali ini kami memastikan akan pulang malam, maka aku berinisiatif membuat bekal untuk makan siang. Menunya sangat sederhana, sambel tempe, ikan teri dan kacang tanah dengan nasi putih. Aku membeli sebungkus abon sapi untuk menambah menu makanan. Lucu ya? Aku sampai berbekal seperti itu. Tapi aku tak mau gengsi, daripada nanti kelaparan.
Kami mengunjungi dua kampung. Kesulitannya tetap sama, sangat susah bertemu orang di siang hari terlebih ini musim panen padi. Tapi syukurlah, ada beberapa warga yang bisa kami jumpai. Ada cerita seru dan sangat lucu loh, David. Sekitar jam 1 an kami mulai merasa lapar. Untunglah ada satu warga yang sudah dikenal oleh temanku. Kami berbincang di rumahnya dan menumpang makan. “Pak, kami mau numpang makan,” ujarku dalam perbincangan kami.
“Bisa, tapi tidak ada makanan di rumah ini,” balasnya seraya bersibuk menuju dapur.
“Bukan … Pak. Kami bawa bekal dan hanya perlu menumpang makan,” lanjutku malu-malu.
“Oh begitu … tentu saja boleh.”
Akhirnya dengan tawa bercampur malu, aku dan temanku mengeluarkan bekal dari tas dan melahapnya.  Temanku bilang “Selama aku bertugas di tempat ini, baru pertama kali aku berbekal ke lapangan. Biasanya teman-teman yang lain sanggup menahan lapar hingga malam.” Aku tertawa dan membalas “Seumur-umur aku kerja di sini, baru sekarang juga aku berbekal. Sudah kayak mau ke ladang saja kita berdua.” Kami kembali tertawa sambil menyantap bekal makan siang.
Di kampung terakhir kami harus menunggu orang berjam-jam hingga jam 5 sore. Cuaca terlihat mendung menjelang senja, ada kekhawatiran dalam hatiku. Kalau hujan, pasti jalanan akan sangat licin. Beberapa warga yang pulang dari ladang berhenti dan menemani kami berbincang. Keramahan mereka membuatku merasa nyaman.
Sekitar setengah tujuh malam, aku dan temanku kembali ke kantor. Hujan rintik mengiringi perjalanan kami. Jalanan belum licin. Selang belasan menit, tepat di simpang tiga kami hampir tergelincir. Kami keasyikan melaju untuk mengejar agar sampai ke kantor sebelum hujan deras. Ehhh … ternyata jalanan di sini sudah terkena hujan deras. Hujannya tidak merata, istilah masyarakat di sini -  hujan lokal.  Temanku merelakan mantelnya untukku agar peralatan di dalam tas tidak basah.
Bisa dibilang jarak untuk sampai ke kantor tidak lagi jauh, hanya beberapa kilometer. Namun jalanan sudah licin dan becek. Temanku harus mengurangi angin pada ban motor. Beberapa kali aku berjalan kaki karena turunan dan ban motor berbalut tanah liat. Hujan juga tidak kunjung berhenti, malahan semakin deras. Sungguh ini bukan hal yang menyenangkan. Namun aku mencoba menikmati semua yang terjadi.
*
Keesokan harinya, aku tidak bisa ke lapangan karena kondisi jalan. Akhirnya aku memilih kembali ke kota menggunakan mobil angkutan. Jam 9 kurang aku berangkat bersama dua orang pria yang membawa beberapa drum untuk membeli bensin. Awalnya aku merasa tidak nyaman karena perempuan sendirian. Lantas aku berpikir, baiknya menganggap mereka sebagai teman baru. Lagi pula mereka sudah langganan teman-temanku yang bertugas di sini. Lambat laun suasana lebih mencair, sesekali kami berbincang. Mereka selalu tertawa melihat tingkahku yang ketakutan saat melewati jalan rusak dan mobil seperti akan melintang di jalan. Padahal supirnya sudah ahli melewati jalan seperti ini. Mereka juga suka melihatku yang sibuk mendokumentasikan perjalanan kami. Hahahaha … daripada aku stress dengan kondisi jalan, lebih baik aku foto-foto permandangan dan jalan rusak.
Jalan seperti ini hanya mobil double gardan yang bisa lewat dengan nyaman. Beberapa warga yang menggunakan motor terlihat sangat kewalahan dengan jalan rusak dan licin. Truk-truk terbenam dalam lumpur. Aku bersyukur kali ini pulangnya dengan mobil, aku bisa duduk manis menikmati perjalananku. Akhirnya jam setengah dua siang kami sampai di tujuan.
Inilah ceritaku, David. Bagaimana cerita petualanganmu bersama anak-anak? Aku ingin sekali mendengarnya. Bila sempat, kirimlah surat untukku. Aku melampirkan satu foto dalam petualanganku. Semoga kamu menyukainya.
surat-dari-desa
Sudah ya, aku mau istirahat untuk bersiap berpetualangan lagi. Akan banyak cerita seru yang selalu ingin kuceritakan padamu. Doakan aku selalu ya.

Love,
Mawar

Surat Kedua dari Desa

Oleh. Angela Januarti


write-story
Dear David…
Bagaimana kabarmu? Sudah cukup lama aku tidak mengirim surat. Aku yakin kamu pasti penasaran dengan kegiatanku. Baiklah. Aku akan mulai bercerita tentang petualanganku ke satu tempat yang baru lagi.
Kemarin, aku mendapat tugas untuk berkunjung ke satu desa selama tiga hari untuk pekerjaan rutinku. Aku dijemput seorang teman yang bertugas di sana. Setelah makan siang, kami berdua bersiap untuk berangkat. Jaraknya cukup jauh, tiga jam perjalanan menggunakan motor dengen kecepatan sedang. Kalau dipikir-pikir memang tidak bisa mengebut, jalannya tanah kuning bercampur lumpur.  Awalnya aku ingin membawa dua buah ransel, maklum aku harus membawa serta laptop dan peralatan kerja lainnya. Tapi niat kuurungkan karena kami menggunakan motor besar dan temanku juga membawa ransel. Fiuhhh … untung saja hanya satu ransel, pundakku terselamatkan dari beban berat. Jalan seperti ini sudah biasa sih kalau masuk ke desa-desa, aku mencoba menikmatinya. Intinya yang penting cuaca cerah agar jalanan tidak licin. Sekali, motor temanku terbenam, ternyata kami salah mengambil jalur yang pas untuk lewat. Aku pun harus berjalan dulu sambil menunggu dia mengeluarkan motornya dari tanah yang lengket. Awalnya aku mau membantu, tapi katanya tidak usah. Sebelumnya aku berharap bisa mengejar waktu untuk berkunjung ke kampung terdekat dan bertemu warga di sore atau malam hari. Namun semuanya batal karena aku dan temanku sangat kelelahan.
Kamu tahu nggak, David. Aku berkenalan dengan satu teman seperjuangan yang usianya masih sangat muda. Gadis tomboi yang sangat bersemangat. Usianya baru 20 tahun. Dia mengingatkanku pada diriku empat tahun yang lalu. Saat aku pertama kali bekerja di sini. Paling tidak setelah bertemu dengannya, ada satu motivasi baru yang kudapatkan.
Tunggu … tunggu … jangan bosan dulu ya. Aku masih ingin bercerita dihari pertama aku sampai di sana. Sore hari, aku menjadi koki. Kamu pasti sangat tahu aku hobi memasak. Kebetulan di kantor hanya ada aku dan dua orang teman, dua lainnya masih di lapangan dan belum pulang. Aku memasak menu sederhana, tampaknya agak susah mencari sayur di desa ini. Sayur hanya bisa dibeli dari pedagang keliling saat pagi hari. Aku masak sarden kaleng, telur dadar dan menumis timun yang masih tersisa dua biji di dapur. Senangnya semua teman menikmati masakanku. Ada satu cerita menarik dimalam hari. Saat aku berniat menonton tv, aku diberitahu beberapa hari ini parabolanya tidak dapat sinyal. Aku sempat kebingungan, mana di sini juga tidak ada sinyal hp. Kalau pun ada mesti pakai bantuan antena. Akhirnya kami memilih nonton film di laptop. Ya, hitung-hitung lumayanlah untuk menghabiskan malam bersama mereka. Ada cerita lucu loh dari teman-teman, saat menjelang tengah malam, mereka memutar film horor. Aku sih memilih tidur duluan untuk bersiap ke lapangan esok harinya. Gara-gara nonton, mereka malah ketakutan semua. Dasar. Ada-ada saja. Tapi itulah keseruan dengan mereka.
Hari kedua : pagi hari aku bersiap untuk ke lapangan. Aku ditemani seorang teman laki-laki. Sebelum berangkat kami sarapan terlebih dahulu, katanya di kampung-kampung yang akan kami kunjungi tidak ada warung makan. Sambil menunggu motor temanku di service, kami berkeliling mengunjungi rumah warga. Memang agak sulit bertemu mereka saat pagi atau siang hari. Biasanya mereka akan berada di rumah diatas jam empat sore setelah pulang dari ladang. Tapi kami cukup beruntung. Beberapa warga sudah pulang dari ladang untuk istirahat siang. Kami berkunjung dan berbincang dan aku pun melaksanakan tugas seperti biasa.
Selanjutnya, kami berjalan kaki menuju rumah yang lain. Dalam perjalanan aku melihat anak-anak sekolah yang tengah bermain. Ada yang tanding volly, main di hutan dekat sekolah dan main bersama teman-temannya. Kata ibu penjaga kantin, hari ini jam olahraga. Sebagian menggunakan pakaian olahraga, lainnya pakaian biasa. Dua anak yang tengah bermain sendiri menarik perhatianku. Kamu tahukan aku sangat senang memperhatikan tiap tingkah mereka. Selalu ada hal yang bisa kupelajari dari dunia anak-anak ini. Mereka tidak menggenakan alas kaki. Bajunya sangat lusuh berpadu dengan celana pendek sederhana. Rambutnya berantakan, wajahnya kotor. Mereka terlihat asyik bermain dengan lembaran daun seraya duduk di atas pohon yang tergeletak di tanah. Aku mendokumentasikan momen itu. Foto-foto mereka akan menjadi pengingat saat aku melihatnya kembali nanti. Ohya, ada hal yang lucu saat aku ingin memotret. Anak-anak itu berlari ketakutan. Sesekali terdengar tawa mereka satu dengan yang lain. Sungguh … melihat tingkah mereka membuatku bahagia. Saat aku hendak berjalan menjauh, mereka mengikuti dan memperhatikanku. Seakan-akan bahasa tubuhnya memberitahu isi pertanyaan di benak mereka “Kakak itu mau ngapain lagi ya?” Meski keseharian mereka sangat sederhana, tampak mereka sangat menikmati masa kanak-kanaknya.
Sekitar jam 12.00 kurang kami melanjutkan perjalanan ke kampung yang lain. Hari pertama aku berpetualangan, kami mengunjungi tiga kampung sekaligus. Saat perut mulai keroncongan, kami harus menuju kampung keempat hanya untuk mencari warung dan makan siang. Perkataan temanku benar. Tidak ada warung makan. Hanya ada warung kecil tempat memesan mie telur. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga makan malam. Intinya hari ini sangat seru. Tuhan terlihat sangat mendukung usahaku dengan memberikan cuaca yang cerah. Permandangan senja saat kami hendak pulang mampu hapuskan penat dan lelah dalam petualangan. Suatu hari, aku ingin mengajakmu ke sini, David.
Okay, itu saja dulu ya ceritaku. Lain kali aku akan melajutkan cerita untuk hari ketiga dan keempatnya. Seperti janjiku, aku selalu sehat dan baik di sini. Kamu juga jaga kesehatan ya. Kita saling mendoakan.

Salam sayang dan rinduku,
MAWAR

Surat dari Desa

Oleh. Angela Januarti

*Terbit di Kapuas Post – Minggu, 9 Desember 2012


Dear. David,
Dua puluh satu hari berlalu di bulan ini. Aku belum mendengar sapaanmu. Sapaan singkat, namun memberikan semangat. Bagaimana kabarmu? Di mana kamu sekarang? Aku ingin mendengarkan ceritamu seperti biasanya. Sejak kemarin aku kembali berpetualangan. Anggaplah aku mengikuti jejakmu. Kita berdua punya kesamaan untuk satu hal ini. Mengunjungi tempat-tempat baru dan mempelajari kehidupan masyarakatnya sangat menyenangkan, bukan? Aku mengerti bila kamu terkadang lupa untuk pulang.
Jarak kampung yang kukunjungi tidak terlalu jauh. Awalnya kami berniat berjalan kaki. Temanku bilang jarak tempuhnya 40-50 menit. Cukup jauh juga untuk aku yang jarang berjalan kaki. Kamu pasti merasa lucu. Berbeda dengan kamu yang sangat senang berjalan kaki. Bertugas di kota kabupaten membuatku selalu mengendarai motor kemana aku pergi.
Kami memilih jalur yang berbeda dan menggunakan motor. Pertama, jalannya masih bagus. Kami melewati perkebunan sawit. Kamu tahukan ini bukan permandangan yang kusukai? Tidak ada yang menarik bagiku dari pohon-pohon sawit. Aku malah membayangkan efek negatif pohon-pohon itu tumbuh dan merusak lingkungan. Kami sempat salah jalan. Ternyata temanku tidak hafal jalan menuju kampung itu. “Aku baru sekali ke sini. Jadi ingat-ingat lupa.” Dia menghentikan motor dan berpikir sejenak. “sebelah kanan,” tuturnya dan mulai menjalankan motor kembali. Belum lama dia ragu. “sepertinya kita salah jalan.” Melihat satu rumah, kami berhenti untuk bertanya. Ingin tertawa rasanya mendapati kami hampir tersesat.
Jalan mendekati kampung yang dituju cukup ekstrem untukku. Jalan tikus untuk penduduk pergi berladang. Kamu bisa membayangkannya? Kami masih mencoba menerobos dengan motor. Tidak berlangsung lama, temanku kelelahan. “Kampungnya sudah dekat, kita jalan saja ya,” ujarnya. Kami memutuskan berjalan kaki. Motor ditinggal di jalan. Panas terik matahari siang membuatku berkeringatan. Kamu pasti tahu apa yang kulakukan. Seperti biasa, aku punya cara sederhana menikmati perjalanan dengan gembira. Tebakanmu betul sekali! Aku menghilangkan lelah dengan berfoto ria.
Aku bertemu dua orang penduduk, sepertinya mereka suami istri yang akan pergi ke ladang. Aku menyapa. Mereka menanyakan tujuanku. Percakapan singkat terjadi. Tidak lama berselang, aku melihat pasangan lain tengah bekerja di ladang mereka. Aku kembali menyapa. Aku menyukai tempat ini. Ada banyak pohon-pohon menjulang tinggi. Ada juga pohon durian. Buahnya sangat lebat. Kamu sukakan? Pohon itu sangat tinggi. Aku sempat khawatir durian jatuh di jalan yang kami lalui. Masyarakat di sini hidup sebagai penoreh dan peladang. Mereka bertahan dengan kesederhanaan. Bayangkan saja, jarak tempat ini tidak jauh dari desa dan jalan utama. Aku bisa melihat dengan jelas perbedaan kehidupan antara mereka. Maju dan tidaknya.
*
Kami sampai di kampung tujuan. Aku berniat menemui beberapa orang untuk urusan pekerjaan. Aku terkejut mendapati satu rumah yang sangat sederhana. Dindingnya berkulit kayu. Memprihatinkan, bukan? Atau kamu sudah terbiasa menemukan hal serupa saat mengujungi banyak perkampungan? Aku menyapa pemiliknya. Ia tengah mengangkat kayu bakar yang dijemur di depan rumah. Anak yang digendongnya menangis. Ia ketakutan melihat kami. Mungkin ia berpikir kami berniat jahat. Ia seperti tidak biasa bertemu dengan orang luar. “Jangan takut, Adek.” Aku mencoba meyakinkannya untuk berhenti menangis. Pemilik rumah mengizinkan kami masuk dan berbicara sebentar. Aku memperhatikan seisi rumahnya. Hanya ada satu kamar yang dibuat sekat dari ruang tengah tempat kami duduk. Dapurnya berukuran 1 X 2 meter persegi. Anak itu masih menangis. Ia berdiri di dapur dan memperhatikan kami yang berbincang dengan ayahnya. Bagaimana mereka bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini? Aku sempat bertanya dalam hati. Kami tidak berbicara lama. Aku tidak tega melihat anak itu menangis tanpa henti karena ketakutan. Aku memberikan kesempatan agar bapak itu bisa berdiskusi dengan istrinya yang masih berada di ladang. Kami berpamit untuk melanjutkan mengunjungi rumah lainnya.
“Aku mau buah rambutan,” ucap temanku. Memang ada rambutan yang berbuah lebat, tepat di taman depan rumahnya. “Belum ditawarin, jangan ambil sembarangan,” balasku.
“Sudah, tadi bapak ada menawarkannya.”
“Ambil saja, tapi buahnya asam,” jawab bapak pemilik buah rambutan. Ternyata bukan rambutan yang kami pikirkan. Masyarakat menyebutnya belitik. Benar sekali. Buahnya asam. Aku memetik tiga biji dan menikmati rasa asamnya. Aku lantas berpikir, bila rambutan ini manis, pasti bisa dijual untuk menambah pendapatan keluarga mereka.
Ada satu bapak yang kami kunjungi, tengah menjalankan bisnis barunya. Ia membeli karet masyarakat dan menjualnya kembali. Ia sudah mendapatkan keuntungan yang cukup banyak. Aku senang bantuan yang kami berikan dimanfaatkan dengan baik. Aku berkesempatan melihat karet yang ia tampung di kolam belakang rumahnya. Ada rasa gembira dan bangga. Aku berkeinginan penduduk lain bisa merasakan manfaat yang sama. Aku meminta Pak RT mendata masyarakatnya. Doakan aku ya, aku berharap program ini berjalan lancar sesuai tujuannya.
*
Kami pulang saat pekerjaan selesai. Cuaca mulai mendung. Tidak lama hujan deras. Kami bahas kuyup. Meski dingin, aku menikmati titik hujan yang membahasi tubuhku. Semua bawaanku basah. Aku teringat perkataanmu. Tiap kali hujan turun, kamu selalu bilang hujan itu milik kita. Sejak saat itu, aku merasa hujan selalu istimewa.
Petualanganku menyenangkan. Perjuangan ini terbayar bila aku memikirkan masyarakat yang kutemui. Aku bahagia bisa melayani sesama dengan tugas baruku ini. Aku belajar dari semangatmu. Ah … aku jadi merindukanmu. Aku teringat perkataanmu lagi. “Ingin sekali punya banyak waktu untuk melayani sesama, terutama anak-anak.” Apa yang kita rasakan selalu sama, ya? Aku merindukanmu.
Biasanya kita menyampaikan kerinduan lewat doa. Kamu masih sering melakukannya? Bertahun-tahun berlalu. Ini masih menjadi cara sederhana yang kulakukan. Kamu sudah mendengarkan pesanku lewat anginkan? Aku memintamu menjaga kesehatan. Tidak boleh lupa makan. Kamu juga sudah membaca ceritaku inikan? Kamu pasti menyukainya. Tenang saja. Masih banyak cerita yang akan kutulis untukmu. Jaga dirimu!

Love,
Mawar
*

Austin

Oleh. Angela Januarti
*Terbit di Koran Kapuas Post – Minggu, 10 Februari 2013

Masak apa hari ini, neng? Elvina tertawa membaca sms yang masuk di handphone-nya. Sms itu dikirim Austin sahabat barunya. Hari ini mereka janjian untuk masak bersama. Austin sangat senang memasak. Dia mengundang Elvina untuk makan malam bersamanya.
Perkenalan Austin dan Elvina tergolong unik. Saat Elvina tengah asyik berkumpul bersama teman-temannya seraya berfoto, Austin muncul dan membantu mendokumentasikan setiap momen. Austin sangat cekatan, sesekali ia memberikan koreografi agar menghasilkan gambar yang bagus. Elvina kagum melihat Austin dan persahabatan mereka berlanjut hingga saat ini.
Semakin lama, Elvina menyadari banyak hal menarik dalam diri Austin. Mereka senang berbincang untuk bertukar pengalaman. Hingga sore itu, Austin mengajak Elvina berjalan-jalan ke pasar tradisional. Mereka membeli beberapa bahan makanan dan untuk pertama kalinya Elvina melihat Austin memasak dan mencicipi masakannya.
happy_valentines_day_hd-wide
*
Elvina mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Raut wajahnya gembira memikirkan momen yang akan dilaluinya bersama Austin. Ia memasuki kawasan perumahan Surya Kencana. Austin tinggal bersama kakak pertamanya. Ia memencet bel, dari balik pintu muncul Austin dengan senyuman khasnya. Ia mengenakan baju kaos merah marun dan celana jeans selutut.
“Sudah selesai masak?” Elvina memastikan.
“Belum. Bahannya sudah dibeli, tapi aku nunggu kamu masaknya.”
“Aku yang masak?” Elvina tampak terkejut.
“Yes. Aku mau menyicipi masakanmu. Bukannya kamu bilang suka masak?”
“Tapi … tidak sekarang ya?” Elvina memasang wajah memelas.
“Aku akan membantumu.” Austin mendorong pundak Elvina perlahan sambil mereka menuju dapur.
“Wow … banyak sekali sayur dan lauknya?”
“Tadi aku sempat bingung kamu mau masak apa. Makannya aku memilih beberapa menu agar bisa kamu masak.”
“Austin ….” Elvina memandangi Austin dengan kesal. Austin hanya tersenyum. “kamu ini, suka sekali mengerjai aku …. Baiklah. Mari kita masak!”
Austin membantu menyiapkan bahan-bahan dan membersihkannya. Kali ini Elvina memasak cumi tumis saus manis, tumis pakis dan sup lobak manis. Elvina memilih menu yang sederhana dan mudah dimasak. Ia memulai dengan menumis bawang bombai hingga harum, memasukkan irisan cumi dan membiarkannya hingga hampir matang. Saus  dimasukan untuk memberikan warna merah segar dipadu dengan irisan tomat dan daun bawang. Selain aroma yang nikmat, perpaduan warna yang ditampilkan juga memikat untuk disantap. Untuk pakis, Elvina hanya menambah ikan teri dan irisan cabe merah segar.  Lobak manis direbus dengan sedikit daging ayam untuk menambah aroma kuah sup yang kuat.
“Sudah selesai!” ujar Elvina dengan wajah sumringah.
“Makanan penutup?”
“Ada kok, tenang saja. Aku tadi membuat agar-agar coklat. Sudah dimasukan ke kulkas.”
“You’re awesome!”
“Thanks.”
Mereka bersantap dengan penuh kegembiraan. Hari ini kakak Austin sedang tidak berada di rumah. Mereka seperti sedang menikmati candle light dinner yang romantis.
“Gimana pekerjaan kamu hari ini, Neng?”
“Seharian kami rapat untuk persiapan kegiatan di kantor. Besok mulai gladi resik dan aku ditunjuk untuk membawakan acara bersama seorang teman.”
“Kamu jadi MC?”
“Iya, sudah lama sekali tidak tampil di depan orang banyak. Aku merasa grogi.”
“Coba saja. Kesempatan tidak selalu datang dua kali. Aku percaya kamu bisa!”
“Makasih, Aust. Aku jadi semakin percaya diri.”
“Percaya diri adalah modal awal kamu untuk maju.” Elvina tersenyum. Untuk pertama kalinya ia mendapatkan dukungan semangat dari Austin seperti ini.
“Aku berharap kamu bisa datang melihatku tampil.”
“Orang luar bisa ikut?”
“Tentu saja. Ini kegiatan terbuka untuk para customer kami. Aku mengundangmu secara khusus.”
“Aku pasti datang. Aku akan memotretmu, berdandanlah yang cantik.”
*
Pagi ini cuaca sangat cerah. Elvina bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri. Pukul 8 Austin akan menjemputnya. Sesekali Elvina menghena napas panjang di depan cermin. Rasa grogi menghilang saat ia mengingat pesan yang Austin berikan padanya. “Kamu pasti bisa, Vina!” ujarnya menyemangati diri sendiri.
“Ting … tong ….” bel rumah berbunyi. Segera Elvina mengambil semua perlengkapan dan menuju ke pintu depan.”
“Pagi …,” Elvina menyapa Austin dengan ceria.
“Wow … kamu cantik sekali.”
“Austin … jangan membuatku salah tingkah.”
“Aku serius. Warna merah bajumu memberikan kesan kamu gadis pemberani.”
“Sudah ah … ayo jalan. Kita sudah hampir terlambat.”
Hanya perlu waktu dua puluh menit untuk bisa sampai ke kantor Elvina. Suasana kantor sudah dipenuhi para pengunjung.
“Aku bersiap dulu ya.”
“Semangat, Neng!”
Acara dimulai pukul sembilan pagi. Ada lebih dari 500 customer datang dalam acara ini. Meski sempat terlihat grogi diawal penampilan, Elvina bisa tampil memukau bersama pasangan MC-nya. Waktu berlalu cepat hingga pukul empat sore. Mereka menutup acara dengan undian berhadiah bagi para customer. Usai beres-beres, panita mengadakan evaluasi singkat. Raut wajah mereka sumringah karena acara berjalan sukses.
“Pak, saya boleh izin pulang lebih dulu?” pinta Elvina.
“Kamu tidak ikut acara makan bersama?”
“Tidak usah, Pak. Sudah ada yang menjemput.”
“Baiklah. Terima kasih untuk bantuannya hari ini. Kamu luar biasa!”
“Sama-sama, Pak. Saya pamit.”
Elvina bergegas ke pintu keluar kantor. Ia merasa tidak nyaman membiarkan Austin menunggu terlalu lama.
“Fantastic! Aku kagum melihat kamu, Neng.”
“Thanks, Aust. Sepertinya harus ada yang mentraktirku malam ini.”
“Mau makan apa?”
“Kamu masak, ya?”
“Tidak. Kali ini kita makan malam di luar saja.”
“Kamu serius? Tumben sekali.”
“Kita harus merayakan semua ini.”
“Okey, aku tidak akan menolak. Btw, aku punya sesuatu untukmu Austin.”
“Apa?”
“Baca saja sendiri.” Elvina bergegas meninggalkan Austin dengan secarik kertas kecil. Tadi malam ia membuat satu puisi singkat untuk Austin.
Kita bercanda
Kadang tidak lucu
Tak ada rasa aneh
Kita tetap tertawa
-Austin … terima kasih untuk semuanya-
Austin tersenyum dan berlari  menyusul Elvina menuju parkiran.
*
(Cerpen ini aku persembahkan untuk seseorang yang kusayang – Biru)

Oase Hidup Malaikat Kecil

Kegembiraan MBD Team

Oleh. Angela Januarti

Menjalin persahabatan dan persaudaraan tentunya memberikan cerita tersendiri bagi tiap orang yang mengalaminya. Begitu juga aku dan beberapa sahabatku yang tergabung dalam MBD Team. MBD adalah satu dari departemen yang ada di lembaga tempatku bekerja. Awalnya kami hanya beranggotakan sepuluh orang – Itoi, Deddy, Edy, Bambang, Suber, Ona, Ngumbang, Loho, Taba dan Angel. Perbedaan usia dan latar belakang antara kami tidak membuat hubungan kerja dan persahabatan kami terkendala. Malah sebaliknya, kami saling mendukung dan belajar satu sama lain. Akhirnya, hubungan kami seperti satu keluarga.
Satu sore, Ona memberi ide untuk berkumpul dan berkaraoke bersama setelah jam kerja usai. Untunglah kami punya seorang kepala MBD (Itoi) yang sangat berjiwa muda – dan memang usianya baru 30 tahun.
MBD Team (1)
MBD Team (2)
Kami memilih menggunakan ruangan aula di kantor. Selain tidak perlu menyewa tempat, fasilitas yang tersedia juga sudah standar. Bila musik sudah dimainkan, semuanya akan mulai berdendang dan bersenandung dengan gembira. Tidak jarang teman-teman yang kebetulan melewati aula akan menoleh dan melihat tingkah kami. Inilah satu cara sederhana yang kami lakukan agar tim tetap kompak.
MBD Team (3)
*
Di awal tahun 2013 jumlah anggota MBD tim bertambah – Robby, Budi, Rince, Ngadian, Yuki, Stef, Bonny, Ani, Sopian, Hirmen. Meski ruang kerja kami tidak terlalu besar, kami selalu gembira dan berbagi tempat duduk saat semuanya berkumpul.
Ada lagi cerita seru yang kami lakukan di awal tahun 2013. Tanggal 28 Januari, Itoi berulang tahun. Kami menyanyikan lagu saat dia masuk ke ruang MBD di pagi hari dan mengucapkan selamat ulang tahun. Tampak raut bahagia dari wajahnya.
Menjelang sore, aku berpikir bahwa hari ini terlalu biasa. Tidak ada hal seru untuk merayakan ulang tahun Itoi. Secara spontan aku mengatakan “Kasi kejutan untuk Bang Itoi, yuk.” Teman-teman yang mendengar menyetujui dan mulai meyusun acara kejutan keesokan harinya.
Kami swadaya mengumpulkan dana untuk kejutan. Ona mengirimkan pesan kepada beberapa teman tim yang kebetulan bertugas di luar. Hanya selang beberapa menit dana yang diperlukan terkumpul dengan cepat.
Keesokan hari setelah jam istirahat siang. Kami semua berkumpul di ruangan dan menyiapkan kejutan. Kebetulan sebagian dari anggota tim yang baru tidak sedang ke lapangan.  Pintu ruangan dikunci dan saat Itoi mengetok kami memperlambat membuka pintu dengan alasan pintunya bermasalah, sepertinya mau rusak. Ketika semua sudah siap, gitar dimainkan dan ruangan dipenuhi dengan nyanyian Happy birthday. Itoi sangat terkejut dan kejutan kami berlangsung sukses.
MBD Team (4)
MBD Team (5)
Keceriaan kami selalu saja mengundang perhatian dari banyak orang. Bahkan Kepala HRM dan General Manager ikut dan melihat kami memberikan kejutan. Kami menyantap kue, buah dan minuman ringan. Suasana kegembiraan bersatu dengan padatnya rutinitas hari itu.
MBD Team (6)
MBD Team (7)
Satu dari anak baru dalam tim berkata “Salut aku. Suasana kekeluargaan di sini sangat terasa.” Aku pun tersenyum mendengar ucapannya. Memang inilah salah satu alasan mengapa aku sangat mencintai pekerjaan dan timku.
Sintang, 1 Februari 2013
-AJ.020187-

 

Oase Hidup Malaikat Kecil

#Usia Bertambah Sukacita Melimpah#

Oleh. Angela Januarti

Tahun baru selalu dinantikan dengan sukacita oleh setiap orang. Ada banyak harapan dalam menyambut tahun yang baru. Sukacita ini dirasakan juga olehku secara pribadi, bukan hanya menyambut tahun baru, tapi ada satu momen yang selalu kutunggu-tunggu yaitu ulang tahunku. Ulang tahun yang jatuh tepat di hari kedua awal tahun.
Sejak jauh-jauh hari aku berniat memberikan hadiah ulang tahun untuk diri sendiri. Mungkin ini kedengaran lucu. Aku menyiapkan semua, layaknya ingin memberikan kejutan bagi orang yang special. Aku mengajak beberapa orang terdekat untuk mewujudkan keinginanku. Syukurlah mereka semua begitu tulus membantuku.
Hari pertama tahun baru, dua adikku menyiapkan kue ulang tahun. Kali ini mereka tidak ingin memesan kue, tapi membuatnya sendiri; kebetulan kami semua tengah berkumpul di rumah. Aku melihat perjuangan mereka selama 4 jam, mulai dari mengolah bahan, memanggang dan menghiasnya. Kali ini aku sengaja tidak campur tangan karena ingin melihat kue yang mereka buat khusus untukku.
Ketika semuanya telah selesai, aku terenyuh  melihat hasilnya. Kue cake sederhana berhiaskan tiga ekor angsa putih mungil dan tulisan Happy Birthday Januarti – 26. Aku merasa kue ini sangat mendiskripsikan keseharianku – simple. Tidak lama kemudian, adik pertamaku memberikanku kado. Meski lebih awal satu hari, kado dari mereka menambah kebahagiaanku menantikan hari ulang tahun. Aku merasa sangat special hari ini.
usiabertambah (1)
*
Pagi ini aku meminta izin untuk masuk kerja lebih siang. Aku ingin merayakan ulang tahun sederhana bersama keluargaku. Adik pertamaku membuat mie goreng. Tidak ada pesta, hanya menyanyikan lagu ulang tahun, membuat permohonan, memotong kue dan memberikannya kepada mereka. Tiga adik sepupuku ikut bergabung merayakannya.
usiabertambah (2)
usiabertambah (3)
Berikutnya, aku mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam. Hari ini adalah hari pertama aku bekerja di tahun 2013. Meski hanya sebentar, perayaan ulang tahun bersama keluarga hadirkan sukacita untukku.
*
Acara lain yang kusiapkan adalah perayaan ulang tahun dalam cerita senjaku. Aku mengundang beberapa sahabat terdekat untuk ikut bersama mengikuti misa dan merayakan ulang tahun di Biara Menyurai. Ada cerita yang menarik – karena ada meeting sore di kantor, aku dan Yanti sahabatku berpacu dengan waktu agar tidak terlambat mengikuti misa. Kami datang tepat saat lagu pembukaan dinyanyikan.
Dalam misa kali ini, aku didoakan secara khusus oleh pastor. Haru dan bahagia bercampur jadi satu. Hal yang paling ingin kulakukan adalah bersyukur karena Tuhan menghadirkan banyak orang dalam hidupku. Mereka sangat mengasihiku.
Menjelang pukul enam, para sahabat berdatangan. Dua lainnya sedikit terlambat dan kami menunggu mereka sambil berbincang bersama di ruang  makan. Perayaan ulang tahunku dimulai ketika mereka tiba. Semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun diiringi gesekan biola yang dimainkan oleh seorang pastor dan tiupan harmonika oleh seorang diakon.
Aku membuat permohonan dan meniup lilin. Kali ini kuenya aku pesan secara khusus, ada warna-warni pelangi dan tulisan Happy Birthday Malaikat Kecil.
usiabertambah (4)
Aku menyuapi kue kepada semua yang hadir. Lucunya mereka dengan sengaja mengolesi wajahku dengan krim kue ulang tahun.
usiabertambah (5)
usiabertambah (6)
Sukacita kami berlanjut dengan makan malam bersama. Kami saling berbincang, bercanda, memainkan alat musik yang membuat suasana ruang makan biara sangat meriah. Menu makan malam dimasak oleh seorang ibu yang berbaik hati mau kami repotkan. Semuanya lahap menyantap makanan yang tersedia.
usiabertambah (7)
usiabertambah (8)
Sebagai acara penutup, kami mencuci piring bersama dan berfotoria. Hari ini ada banyak sukacita yang terjadi. Setiap ucapan, doa dan harapan yang diberikan oleh banyak orang membuatku sadar Tuhan sangat mengasihiku dengan kehadiran mereka. Aku sangat ingin mengucapkan terima kasih untuk semua yang mendukungku dan membuat keinginanku dalam merayakan ulang tahun dapat terwujud. Ini adalah kado terbesar yang kudapatkan di awal tahun 2013.
usiabertambah (9)
My Special Day : 2 Januari 2013
Malaikat Kecil

 

 

Foto saya
Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai. -AJ.020187-

Followers

Bookmark

ADS-468x60

Pages

ADS 125x125