Oleh. Angela Januarti
Dear. David,
Hari ini aku kembali merindukanmu. Apa kamu sudah membaca suratku
yang sebelumnya? Kamu sukakan?! Seorang kakak berkomentar ketika membaca
suratku padamu. Katanya “Pasti David berbunga-bunga hatinya mendapatkan
surat dari Mawar.” Kalimat itu membuatku penasaran dan ingin tahu
jawabannya langsung dari mulutmu. Tapi … apapun itu, aku tetap ingin
menulis surat untukmu.
Oh ya, seperti janjiku. Aku akan menceritakan petualanganku di hari
ketiga dan keempat. Hari ketiga dalam petualangan, aku masih sangat
bersemangat. Sebelum berangkat kami sarapan terlebih dahulu, mengingat
tidak akan ada warung yang bisa kami jumpai untuk membeli makanan. Kali
ini kami memastikan akan pulang malam, maka aku berinisiatif membuat
bekal untuk makan siang. Menunya sangat sederhana, sambel tempe, ikan
teri dan kacang tanah dengan nasi putih. Aku membeli sebungkus abon sapi
untuk menambah menu makanan. Lucu ya? Aku sampai berbekal seperti itu.
Tapi aku tak mau gengsi, daripada nanti kelaparan.
Kami mengunjungi dua kampung. Kesulitannya tetap sama, sangat susah
bertemu orang di siang hari terlebih ini musim panen padi. Tapi
syukurlah, ada beberapa warga yang bisa kami jumpai. Ada cerita seru dan
sangat lucu loh, David. Sekitar jam 1 an kami mulai merasa lapar.
Untunglah ada satu warga yang sudah dikenal oleh temanku. Kami
berbincang di rumahnya dan menumpang makan. “Pak, kami mau numpang
makan,” ujarku dalam perbincangan kami.
“Bisa, tapi tidak ada makanan di rumah ini,” balasnya seraya bersibuk menuju dapur.
“Bukan … Pak. Kami bawa bekal dan hanya perlu menumpang makan,” lanjutku malu-malu.
“Oh begitu … tentu saja boleh.”
Akhirnya dengan tawa bercampur malu, aku dan temanku mengeluarkan
bekal dari tas dan melahapnya. Temanku bilang “Selama aku bertugas di
tempat ini, baru pertama kali aku berbekal ke lapangan. Biasanya
teman-teman yang lain sanggup menahan lapar hingga malam.” Aku tertawa
dan membalas “Seumur-umur aku kerja di sini, baru sekarang juga aku
berbekal. Sudah kayak mau ke ladang saja kita berdua.” Kami kembali
tertawa sambil menyantap bekal makan siang.
Di kampung terakhir kami harus menunggu orang berjam-jam hingga jam 5
sore. Cuaca terlihat mendung menjelang senja, ada kekhawatiran dalam
hatiku. Kalau hujan, pasti jalanan akan sangat licin. Beberapa warga
yang pulang dari ladang berhenti dan menemani kami berbincang. Keramahan
mereka membuatku merasa nyaman.
Sekitar setengah tujuh malam, aku dan temanku kembali ke kantor.
Hujan rintik mengiringi perjalanan kami. Jalanan belum licin. Selang
belasan menit, tepat di simpang tiga kami hampir tergelincir. Kami
keasyikan melaju untuk mengejar agar sampai ke kantor sebelum hujan
deras. Ehhh … ternyata jalanan di sini sudah terkena hujan deras.
Hujannya tidak merata, istilah masyarakat di sini - hujan lokal.
Temanku merelakan mantelnya untukku agar peralatan di dalam tas tidak
basah.
Bisa dibilang jarak untuk sampai ke kantor tidak lagi jauh, hanya
beberapa kilometer. Namun jalanan sudah licin dan becek. Temanku harus
mengurangi angin pada ban motor. Beberapa kali aku berjalan kaki karena
turunan dan ban motor berbalut tanah liat. Hujan juga tidak kunjung
berhenti, malahan semakin deras. Sungguh ini bukan hal yang
menyenangkan. Namun aku mencoba menikmati semua yang terjadi.
*
Keesokan harinya, aku tidak bisa ke lapangan karena kondisi jalan.
Akhirnya aku memilih kembali ke kota menggunakan mobil angkutan. Jam 9
kurang aku berangkat bersama dua orang pria yang membawa beberapa drum
untuk membeli bensin. Awalnya aku merasa tidak nyaman karena perempuan
sendirian. Lantas aku berpikir, baiknya menganggap mereka sebagai teman
baru. Lagi pula mereka sudah langganan teman-temanku yang bertugas di
sini. Lambat laun suasana lebih mencair, sesekali kami berbincang.
Mereka selalu tertawa melihat tingkahku yang ketakutan saat melewati
jalan rusak dan mobil seperti akan melintang di jalan. Padahal supirnya
sudah ahli melewati jalan seperti ini. Mereka juga suka melihatku yang
sibuk mendokumentasikan perjalanan kami. Hahahaha … daripada aku stress
dengan kondisi jalan, lebih baik aku foto-foto permandangan dan jalan
rusak.
Jalan seperti ini hanya mobil double gardan yang bisa lewat
dengan nyaman. Beberapa warga yang menggunakan motor terlihat sangat
kewalahan dengan jalan rusak dan licin. Truk-truk terbenam dalam lumpur.
Aku bersyukur kali ini pulangnya dengan mobil, aku bisa duduk manis
menikmati perjalananku. Akhirnya jam setengah dua siang kami sampai di
tujuan.
Inilah ceritaku, David. Bagaimana cerita petualanganmu bersama
anak-anak? Aku ingin sekali mendengarnya. Bila sempat, kirimlah surat
untukku. Aku melampirkan satu foto dalam petualanganku. Semoga kamu
menyukainya.
Sudah ya, aku mau istirahat untuk bersiap berpetualangan lagi. Akan
banyak cerita seru yang selalu ingin kuceritakan padamu. Doakan aku
selalu ya.
Love,
Mawar
Setiap kepingan kehidupan memiliki keajaibannya sendiri. Keajaiban itulah yang ingin kubagikan dengan menulis.
28 Mei 2013
Surat Ketiga dari Desa
Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai.
-AJ.020187-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
- Angela Januarti
- Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai. -AJ.020187-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar