Oleh. Angela Januarti
*Terbit di Kapuas Post – Minggu, 9 Desember 2012
Dear. David,
Dua puluh satu hari berlalu di bulan ini. Aku belum mendengar
sapaanmu. Sapaan singkat, namun memberikan semangat. Bagaimana kabarmu?
Di mana kamu sekarang? Aku ingin mendengarkan ceritamu seperti biasanya.
Sejak kemarin aku kembali berpetualangan. Anggaplah aku mengikuti
jejakmu. Kita berdua punya kesamaan untuk satu hal ini. Mengunjungi
tempat-tempat baru dan mempelajari kehidupan masyarakatnya sangat
menyenangkan, bukan? Aku mengerti bila kamu terkadang lupa untuk pulang.
Jarak kampung yang kukunjungi tidak terlalu jauh. Awalnya kami
berniat berjalan kaki. Temanku bilang jarak tempuhnya 40-50 menit. Cukup
jauh juga untuk aku yang jarang berjalan kaki. Kamu pasti merasa lucu.
Berbeda dengan kamu yang sangat senang berjalan kaki. Bertugas di kota
kabupaten membuatku selalu mengendarai motor kemana aku pergi.
Kami memilih jalur yang berbeda dan menggunakan motor. Pertama,
jalannya masih bagus. Kami melewati perkebunan sawit. Kamu tahukan ini
bukan permandangan yang kusukai? Tidak ada yang menarik bagiku dari
pohon-pohon sawit. Aku malah membayangkan efek negatif pohon-pohon itu
tumbuh dan merusak lingkungan. Kami sempat salah jalan. Ternyata temanku
tidak hafal jalan menuju kampung itu. “Aku baru sekali ke sini. Jadi
ingat-ingat lupa.” Dia menghentikan motor dan berpikir sejenak. “sebelah
kanan,” tuturnya dan mulai menjalankan motor kembali. Belum lama dia
ragu. “sepertinya kita salah jalan.” Melihat satu rumah, kami berhenti
untuk bertanya. Ingin tertawa rasanya mendapati kami hampir tersesat.
Jalan mendekati kampung yang dituju cukup ekstrem untukku. Jalan
tikus untuk penduduk pergi berladang. Kamu bisa membayangkannya? Kami
masih mencoba menerobos dengan motor. Tidak berlangsung lama, temanku
kelelahan. “Kampungnya sudah dekat, kita jalan saja ya,” ujarnya. Kami
memutuskan berjalan kaki. Motor ditinggal di jalan. Panas terik matahari
siang membuatku berkeringatan. Kamu pasti tahu apa yang kulakukan.
Seperti biasa, aku punya cara sederhana menikmati perjalanan dengan
gembira. Tebakanmu betul sekali! Aku menghilangkan lelah dengan berfoto
ria.
Aku bertemu dua orang penduduk, sepertinya mereka suami istri yang
akan pergi ke ladang. Aku menyapa. Mereka menanyakan tujuanku.
Percakapan singkat terjadi. Tidak lama berselang, aku melihat pasangan
lain tengah bekerja di ladang mereka. Aku kembali menyapa. Aku menyukai
tempat ini. Ada banyak pohon-pohon menjulang tinggi. Ada juga pohon
durian. Buahnya sangat lebat. Kamu sukakan? Pohon itu sangat tinggi. Aku
sempat khawatir durian jatuh di jalan yang kami lalui. Masyarakat di
sini hidup sebagai penoreh dan peladang. Mereka bertahan dengan
kesederhanaan. Bayangkan saja, jarak tempat ini tidak jauh dari desa dan
jalan utama. Aku bisa melihat dengan jelas perbedaan kehidupan antara
mereka. Maju dan tidaknya.
*
Kami sampai di kampung tujuan. Aku berniat menemui beberapa orang
untuk urusan pekerjaan. Aku terkejut mendapati satu rumah yang sangat
sederhana. Dindingnya berkulit kayu. Memprihatinkan, bukan? Atau kamu
sudah terbiasa menemukan hal serupa saat mengujungi banyak perkampungan?
Aku menyapa pemiliknya. Ia tengah mengangkat kayu bakar yang dijemur di
depan rumah. Anak yang digendongnya menangis. Ia ketakutan melihat
kami. Mungkin ia berpikir kami berniat jahat. Ia seperti tidak biasa
bertemu dengan orang luar. “Jangan takut, Adek.” Aku mencoba
meyakinkannya untuk berhenti menangis. Pemilik rumah mengizinkan kami
masuk dan berbicara sebentar. Aku memperhatikan seisi rumahnya. Hanya
ada satu kamar yang dibuat sekat dari ruang tengah tempat kami duduk.
Dapurnya berukuran 1 X 2 meter persegi. Anak itu masih menangis. Ia
berdiri di dapur dan memperhatikan kami yang berbincang dengan ayahnya. Bagaimana mereka bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini? Aku
sempat bertanya dalam hati. Kami tidak berbicara lama. Aku tidak tega
melihat anak itu menangis tanpa henti karena ketakutan. Aku memberikan
kesempatan agar bapak itu bisa berdiskusi dengan istrinya yang masih
berada di ladang. Kami berpamit untuk melanjutkan mengunjungi rumah
lainnya.
“Aku mau buah rambutan,” ucap temanku. Memang ada rambutan yang
berbuah lebat, tepat di taman depan rumahnya. “Belum ditawarin, jangan
ambil sembarangan,” balasku.
“Sudah, tadi bapak ada menawarkannya.”
“Ambil saja, tapi buahnya asam,” jawab bapak pemilik buah rambutan.
Ternyata bukan rambutan yang kami pikirkan. Masyarakat menyebutnya belitik.
Benar sekali. Buahnya asam. Aku memetik tiga biji dan menikmati rasa
asamnya. Aku lantas berpikir, bila rambutan ini manis, pasti bisa dijual
untuk menambah pendapatan keluarga mereka.
Ada satu bapak yang kami kunjungi, tengah menjalankan bisnis barunya.
Ia membeli karet masyarakat dan menjualnya kembali. Ia sudah
mendapatkan keuntungan yang cukup banyak. Aku senang bantuan yang kami
berikan dimanfaatkan dengan baik. Aku berkesempatan melihat karet yang
ia tampung di kolam belakang rumahnya. Ada rasa gembira dan bangga. Aku
berkeinginan penduduk lain bisa merasakan manfaat yang sama. Aku meminta
Pak RT mendata masyarakatnya. Doakan aku ya, aku berharap program ini
berjalan lancar sesuai tujuannya.
*
Kami pulang saat pekerjaan selesai. Cuaca mulai mendung. Tidak lama
hujan deras. Kami bahas kuyup. Meski dingin, aku menikmati titik hujan
yang membahasi tubuhku. Semua bawaanku basah. Aku teringat perkataanmu.
Tiap kali hujan turun, kamu selalu bilang hujan itu milik kita. Sejak
saat itu, aku merasa hujan selalu istimewa.
Petualanganku menyenangkan. Perjuangan ini terbayar bila aku
memikirkan masyarakat yang kutemui. Aku bahagia bisa melayani sesama
dengan tugas baruku ini. Aku belajar dari semangatmu. Ah … aku jadi
merindukanmu. Aku teringat perkataanmu lagi. “Ingin sekali punya banyak
waktu untuk melayani sesama, terutama anak-anak.” Apa yang kita rasakan
selalu sama, ya? Aku merindukanmu.
Biasanya kita menyampaikan kerinduan lewat doa. Kamu masih sering
melakukannya? Bertahun-tahun berlalu. Ini masih menjadi cara sederhana
yang kulakukan. Kamu sudah mendengarkan pesanku lewat anginkan? Aku
memintamu menjaga kesehatan. Tidak boleh lupa makan. Kamu juga sudah
membaca ceritaku inikan? Kamu pasti menyukainya. Tenang saja. Masih
banyak cerita yang akan kutulis untukmu. Jaga dirimu!
Love,
Mawar
*
Setiap kepingan kehidupan memiliki keajaibannya sendiri. Keajaiban itulah yang ingin kubagikan dengan menulis.
28 Mei 2013
Surat dari Desa
Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai.
-AJ.020187-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
- Angela Januarti
- Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai. -AJ.020187-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar