29 Juni 2012

SENJA KEDUA PULUH SATU DI BIARA MENYURAI

By. Angela Januarti
#MENEMUKAN HARTA DAN BERBAHAGIA#

Pagi ini aku terpikir untuk kembali mengunjungi biara dan mengajak beberapa temanku. Aku mengirim sms sebelum berangkat kerja. Sesampai di kantor aku memastikan apa mereka akan ikut melewati senja dan misa bersama. Terlihat mereka masih ragu, apalagi hari ini kami menggenakan pakaian dinas resmi kantor dengan setelan jas yang cukup membuat gerah hingga menjelang sore; sedangkan aku memang sudah menyiapkan pakaian ganti.

Saat makan siang perbincangan kembali kuulang, aku menceritakan senja-senja yang sudah kualami. Bagiku tiap senja memiliki kesan tersendiri. Akhirnya satu teman memastikan akan ikut, sedangkan satu lagi belum.

Senja hampir tiba, pekerjaanku sudah selesai dan aku hendak mempersiapkan diri menuju biara. Aku kembali menanyakan pada satu temanku apa ia akan ikut dan ia menjawab iya. Kami bertiga segera berangkat dengan membawa kamera untuk berfotoria. Beginilah kalau sudah berkumpul, senangnya foto-foto. Karena agak awal datangnya, kami punya cukup waktu untuk menikmati suasana di sekitar biara.

Aku mengajak mereka menuju hutan di belakangan biara yang terdapat patung Bunda Maria Regina Pacis. “Suasananya enak sekali ya?” ujar salah satu temanku yang baru pertama kali mengunjungi biara. Mulailah kami bersukacita dengan mendokumentasikan permandangan sekitar.

“Sudah ya, kita bersantai di taman lagi aja,” saranku. Awalnya teman-teman penasaran dimana tamannya. Aku duduk di kursi taman dan mengajak mereka bersantai, “Tamannya mana kak? Masih ada waktukah bersantai?” ucap seorang teman. Aku tertawa seraya menjawab: “Inilah tamannya, lihat view tanaman dengan warna-warni dedaunan dan bunga yang bermekaran.” Kami bersantai sejenak ditemani seorang diakon yang sudah kukenal.

Kami mengikuti misa sore bersama, suasana hening menunggu misa dimulai selalu membuat hatiku tenang. Tidak begitu lama, seorang pastur memasuki ruang doa dan lagu pembukaan dinyanyikan. Hari ini gereja memperingati hari St. Aloysius Gonzaga, seorang pemuda dari keluarga bangsawan yang memilih meninggalkan harta dan kehidupan bangsawannya dan masuk biara pada usia tujuh belas setengah tahun. Jujur saja, saat aku mendengar sekilas tentang St.Aloysius Gonzaga yang diceritakan oleh pastur, hatiku tersentuh. Keesokan harinya aku bahkan mencari tahu dan membaca biografinya.

Dalam pencarianku, aku menemukan banyak hal yang memberikan perenungan pribadi. Terlebih ketika aku mulai ingin memilih kemana langkah kakiku selanjutnya, Tuhan memberikan petunjuk dalam ayat yang kubaca. “Kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Mat 6:20)

Sejenak aku teringat satu kesempatan bersama papa di rumah. Kami menonton satu acara yang menampilkan keluarga yang hidup kekurangan dengan banyak anak-anak. Aku berkomentar: “Gimana caranya mereka bisa hidup seperti ini?” lalu papaku menjawab: “Tapi hidup mereka bahagia,” aku terdiam. Papa benar, mereka terlihat bahagia dengan kesederhaannya.

Senja kali ini, aku diajak untuk menemukan harta sebenarnya. Harta yang selama ini kucari dalam perjalanan hidup dan membawaku pada kebahagiaan sejati bersama-Nya.

Sintang, 21 Juni 2012
SCA-AJ.020187

19 Juni 2012

SENJA KEDUA PULUH DI BIARA MENYURAI

By. Angela Januarti
#KASIH YANG MENYATUKAN#

Sore itu mereka mengirimku kabar ada di biara hingga senin pagi. Hatiku bersukacita karena sudah lama kami tidak bertemu dan berbincang. Aku berpacu dengan waktu agar tidak terlalu malam datang ke sana dan punya banyak waktu berkumpul bersama mereka. Ketika aku datang, mereka tengah bersantai di taman samping biara, sayangnya hanya berdua dan yang lain sudah beristirahat karena kecapaian. Aku mengucapkan salam; hatiku penuh kegembiraan karena kembali bertemu. “Aku benar-benar rindu kalian loh bang,” ujarku.

Kami bersantai seraya menikmati buah jeruk dan salak. Kami mulai berbincang dan aku mulai bercerita tentang kegiatanku. Mereka mendengarkannya sembari sesekali bercanda. Hanya bertiga rasanya ada yang kurang, aku mengirimkan sms kepada salah satu dari mereka lagi yang kukenal. Aku mengajaknya bergabung untuk bersantai. Tidak lama kemudian dia datang dan tersenyum padaku. Kami bersalaman dan dia memegang kepalaku, satu sentuhan kasih yang membuatku rindu sosok abangku.

Mereka bertiga menceritakan pengalaman menjalani masa pastoral di tempat tugas masing-masing. Banyak hal lucu yang terjadi dan membuat kami terus tertawa. Kami juga membicarakan tentang begitu kayanya alam dibagian hulu Kapuas. Bila musim kemarau, ada banyak ikan yang bisa dipanen untuk dikonsumsi maupun dijual. Cerita ini membuatku tidak sabar untuk bisa berkunjung dan melihatnya secara langsung.

Keesokan paginya, aku mengikuti misa minggu bersama mereka dan umat di biara; seorang tamu kami juga ikut serta. Setelah bacaan Injil dibacakan, pastor memberikan homili yang menarik bagiku. Satu kalimat dalam perenungan di Hari Raya Tritunggal Mahakudus adalah tentang kasih yang menyatukan. Kasih dalam tiap pribadi yang mencerminkan sosok Tritunggal Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Setelah misa, aku berharap bisa berfoto bersama mereka dengan menggunakan jubah. Foto ini akan menjadi kenangan indah sebelum mereka tahbisan imamat. Namun niatku belum sepenuhnya terwujud, karena hanya dua orang dari mereka yang masih menggunakan jubah dan berfoto bersamaku.

Kami melanjutkan sarapan bersama; kebetulan ada satu pastur yang sangat kukagumi karena beliau sangat peduli tentang kebudayaan Dayak, lingkungan dan orangutan. Aku tidak menyia-yiakan kesempatan ini dan berbincang banyak hal bersamanya. Sarapan kali ini menyenangkan, tiap perbincangan bersama mereka memberiku banyak pengetahuan baru. Aku semakin asyik saja membahas budaya, lingkungan dan orangutan hingga pastur mengajakku berkunjung ke tempat tinggalnya bernama Kobus.

Aku mendapatkan kesempatan melihat tiga ekor orangutan di tempat khusus seperti klinik hewan. Seekor orangutan dikandang yang berbeda ternyata belum terlalu sehat, ada seorang petugas khusus yang  merawatnya. Di kandang berbeda, dua ekor orangutan terlihat tengah asyik bermain. Aku lucu melihatnya, meski agak takut aku mencoba untuk bermain lewat sela kandang; apalagi seekor orangutan bernama Jojo menyodorkan tangan untuk bersalam, bahkan memberikanku setangkai tumbuhan yang ada di kandangnya.

Aku termasuk beruntung, karena tidak semua orang diperbolehkan untuk masuk ke area ini. Aku mengabadikan tiap hal untuk jadi kenangan. Pastur juga menjelaskan beberapa hal mengenai orangutan kepadaku. Sebelum keluar area, aku kembali bermain bersama Jojo, kali ini ia terlihat semakin menggemaskan. Tangannya tidak henti mencoba menarik pakaianku dan mengajak salaman.

Pastur mengajakku untuk melihat isi rumah Kobus. Saat baru memasuki rumah, aku terpana melihat semua yang ada. Mulai dari pajangan, foto-foto, furnitures hingga buku-buku yang tersusun rapi. Pastur menjelaskan tentang kain tenun ikat, furniture dari kayu di hutan yang sudah tidak terpakai, tombak, anyaman dan masih banyak hal menarik lainnya. Terakhir, aku mendapatkan satu buku tentang tenun yang hanya dicetak tiga puluh buah dan tanda tangan pastur secara langsung. Selain itu ada tiga buah buku lainnya yang diberikan padaku. Bila sejak dulu aku begitu ingin mempelajari tentang tenun lebih dalam, hari ini Tuhan menghadirkan pribadi yang membuat keinginanku terwujud.

Menjelang senja, aku kembali berkunjung ke biara. Kali ini mereka tengah berkumpul bersama di kursi taman; ada pastur dan lima diakon. Satu kesempatan lain yang kembali hadir dan membuatku bahagia. Sebelum menutup senja, mereka bermain gitar dan menyanyi lagu bersama. Aku sendiri sibuk merekam senja yang terjadi dan tidak ingin kehilangan sedikitpun waktu yang terjalan. Karena nanti, setelah mereka ditahbiskan dan bertugas di tempat yang jauh; satu rekaman senja ini akan menjadi kenangan yang manis. “Tuhan sungguh baik ya bang, akhirnya harapanku untuk kembali melewati senja bersama kalian terwujud,” ucapku pada dua diakon.

Senja kali ini, mengajarkanku betapa kasih Tuhan telah menyatukan kami yang datang dari berbagai latar belakang, budaya dan daerah yang berbeda. Karena kasihnya juga, aku mengalami banyak senja dan belajar banyak hal bersama mereka.

Sintang, 03 Juni 2012

3 Juni 2012

SEBUAH IDENTITAS

By. Angela Januarti

Seorang teman mengirimkan berkas untuk keperluan administrasi melalui bis. Aku diminta mengambilnya di pangkalan bis dengan nama amplop yang ditujukan padaku. Karena cukup sibuk aku meminta bantuan staf rumah tangga mengambilnya. Sudah di cek ternyata barangnya tidak ada, aku pikir mungkin aku yang harus langsung ke sana agar lebih jelas.

Pulang kerja aku mampir di pangkalan; menanyakan hal yang sama untuk mengambil kiriman barang. Mbak yang bertugas membongkar satu demi satu berkas, tapi juga tidak ketemu. Aku menghubungi nomor temanku juga tidak diangkat. “Ya sudahlah mbak, besok saja.” Aku pun bergegas pulang, cuaca juga seperti mau hujan.

Keesokan harinya, aku mengkonfirmasi kepada temanku. Kacaunya berkas memang belum dikirim, temannya temanku lupa membawanya. Aku diberitahu untuk mengambil keesokan harinya lagi. Bisa dibilang urusannya jadi agak ribet.
Karena sibuk, aku kembali meminta bantuan staf rumah tangga kami. Tapi ternyata mereka juga punya kesibukan lain. Alhasil tertunda lagi untuk mengambil berkas pagi ini. Menjelang sore, satu staf rumah tangga bilang bisa bantu, tapi ternyata setelah ditanya mana berkasnya; ia lupa mengambilnya.

Kali ini pangkalannya satu jalur dengan mess kami. Aku memilih mengambilnya sendiri saat pulang kerja. Aku memilih memutar jalur karena ada keperluan lain; biar dua urusan selesai sekaligus, pikirku. Aku menanyakan berkas atas namaku, awalnya suami pemilik tempat itu yang membantu mencarikannya. Aku menyebut nama dan kantorku agar lebih jelas, setahuku mereka menggunakan alamat kantor. Cukup lama bapak itu mencari dan membongkar tumpukkan berkas, namun belum juga ketemu; hingga istrinya yang mengambil alih. Kali ini aku hanya menyebut nama panggilanku dan hasilnya sama tidak ada. “Katanya dititip dengan supirnya. Bingung juga sich, kemarin di kantor yang satu juga tidak ada,” ujarku seraya hendak mengambil handphone di tas ranselku. Saat aku melepas tas, tulisan INVICTUS di baju kerja yang kukenakan terlihat. Ibu itu melihat dan berkata: “Kamu kerja di Keling Kumang ya?” Kujawab iya. “Kayaknya tadi ada berkas pakai alamat Keling Kumang, nanti saya cek dulu.” Hanya dalam hitungan detik, sebuah amplop diberikan padaku yang diambil dari laci meja ibu itu. Aku menggerutkan dahi, cepat ya.

Segeralah aku pulang dengan satu perenungan, karena sebuah identitas membuat urusanku menjadi mudah.

Sintang, 22 Mei 2012
Foto saya
Berasal dari Rawak-Kalimantan Barat. Seorang yang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Senang mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang yang belum dikenal. Proses tersebutlah yang membuatnya belajar banyak hal dalam kehidupan. Cintanya adalah kebijaksanaan, dicarinya sejak masa muda. Ia ingin memperolehnya sebagai mempelai. -AJ.020187-

Followers

Bookmark

ADS-468x60

Pages

ADS 125x125